Senin, 18 Mei 2009

Dilema Dakwah Kampus


(Oleh : Mitsu IQRA')


Setiap dari kita, harus bisa memberikan kontribusi yang jelas terhadap dakwah kita!. Maksudnya adalah, setiap masing – masing individu yang merasa sebagai kader dakwah harus mampu berkomunikasi dengan baik kepada mahasiswa – mahasiswa di kampus. Jadi agar kita tidak dibilang eksklusif oleh mereka kita harus berbaur dengan mereka dengan catatan, kita harus mewarnai bukan diwarnai!.
Terkadang saya heran, banyak di antara muharik – muharik dakwah yang terlalu menjaga jarak dan jarang berkumpul dengan mahasisiwa ammah, sehingga julukan Ekslusif pun di sematkan kepada mereka. Bagaimana tidak?, jika para Akhwat lebih sering berkumpul dengan sesama Akhwat dari pada mahasisiwi yang ammah dan para Ikhwan lebih sering berkumpul dengan sesama Ikhwan daripada dengan mahasisiwa ammah, wajar saja kalau julukan itu di anugrahkan kepada aktivis dakwah kampus. Tentu saja julukan itu malah membuat gerakan dakwah menjadi terhambat. Jika seperti ini, jangan merasa heran jika orang – orang yang bisa di ajak untuk mendekati jalan Allah pun sedikit. Ketika saya mengatakan hal ini kepada teman saya, mereka berkata “ Akhi, kita sudah berusaha untuk mendekati mereka kok,”. Ketika saya katakan untuk berbaur dengan mahasisiwa yang ammah, merka menjawab, “ Untuk mendakwahi mereka, kita nggak perlu mengikuti gaya mereka,” .
Menurut saya, tidak semua ucapan itu benar. Bukankah bergaul dengan mereka merupakan bagian dari Muamalah?. Sedangkan yang namanya Muamalah, selagi tidak ada syari’at yang melarang boleh di lakukan. Berbeda dengan Ibadah, yang jika tidak ada tuntunan syari’at tidak boleh di lakukan. Nah, jadi intinya selagi gaya mereka tidak dilarang Syariat, maka boleh kita ikuti. Akan tetapi jika gaya itu jelas – jelas bertentangan dengan Syari’at, maka kita wajib untuk meninggalkannya!. Selain itu, kita harus merubah prilaku kita. Saya lihat, kebiasaan kader – kader dakwah sekarang pagi kuliah, terus nongkorong di mushola, habis itu kuliah lagi dan habis Zuhur langsung menghilang dari kampus, entah itu berdakwah di luar atau langsung pulang ke rumah.
Saya tidak meyalahkan aktivis – aktivis dakwah kampus yang berdakwah diluar kampus karna dakwah memang tidak memilih - milih waktu, tempat maupun objek. Akan tetapi yang menjadi catatan penting adalah, sebagai aktivis dakwah kampus, maka objek dakwah yang vital bagi kita adalah para mahasiswa-mahasiswa di kampus yang belum tersentuh oleh dakwah!. Ini merupakan sebuah tantangan besar bagi kader dakwah kampus! Jadi kader dakwah kampus, tidak hanya berdakwah diluar saja. Seperti mengajar ngaji didesa-desa, bakti sosial, dll. Tidak hanya seperti itu. Ingat, jangan sampai karena sibuk mengurusi dakwah di luar dakwah di kampus menjadi terlalaikan. Seharusnya kita harus membenahi juga rumah kita sendiri, yaitu kampus kita.
Untuk itu, setiap kader seharusnya bisa bersosialisasi dengan masyarakat kampus. Setidaknya menjelaskan beberapa hukum – hukum Syari’at yang ringan. Dan, untuk selanjutnya kita bisa mengajak mereka dalam kelompok halaqoh yang kita samarkan namanya dengan kelompok diskusi.

Selasa, 05 Mei 2009

Tangan tak Terlihat” nya Adam Smith



Setelah runtuhnya ideologi komunis, kekuatan pasar jadi satu-satunya kekuatan yang paling istiqomah dipertahankan mati-matian oleh para ekonom modern saat ini. Prinsip kepuasan individu pun dibela bukan cuma dari Sabang sampai Merauke saja, tapi dari kutub utara sampai kutub selatan. Instrumen-instrumen yang dibuat untuk menunjang pembangunan ekonomi akhirnya inkonsisten dengan prinsip umum tersebut. Mau tidak mau parameter kemegahan dan keberhasilan pembangunan ekonomi direfleksikan oleh variabel-variabel jumlah materi yang sudah dihasilkan oleh pelaku-pelaku ekonomi. tidak heran kalau kemudian prilaku ekonomi dari individu-individuny a sangat tergantung dengan paradigma kekuatan pasar (kapitalisme) , kepuasan individual (individualisme) dan materialistic (materialisme) .

Di sini permasalahannya bisa kitallihat. Dalam aplikasinya, tujuan dan praktek ekonomi modern tidak berjalan seiringan. Keduanya tidak pernah bisa bertemu pada puncak pencapaian ekonomi. Malah yang terjadi adalah kontradiksi dan paradoks antara praktek dan tujuan, kerja dan harapan serta prilaku dan cita-cita. Kekacauan ekonomi kerap dan selalu terjadi, baik berupa krisis ekonomi maupun berbentuk kekacauan sosial. Pembangunan tidak memberikan kemakmuran yang merata namun semakin menunjukkan jurang ketimpangan yang semakin dalam. Kemegahan ekonomi yang sudah kita alami tidak semakin membuat kita bersifat sosial yang mengedepankan nilai persaudaraan dan kekeluargaan tetapi malah membentuk dan menciptakan manusia-manusia yang rakus. Kue pembangunan makin lama makin menggunung disisi pemilik-pemilik sumber daya, sementara individu-individu yang tak berpunya semakin banyak jumlahnya, yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin makin sengsara. Bahkan angka kematian akibat kemiskinan jauh lebih besar jumlahnya daripada jumlah kematian akibat peperangan, pengangguran pun meningkat, inflasi yang merongrong daya beli semakin melangit, kriminalitas dan konflik-konflik sosial menjadi peristiwa keseharian yang menunjukan ketimpangan ekonomi.

Muhammad saw dan Adam Smith

Bukankah orang-orang pernah berkata kepada Rasulullah SAW: ”Ya Rasulullah, harga-harga telah melonjak tinggi, maka tentukanlah harga bagi kami”. Rasulullah SAW menjawab,”Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga dan menahan rizki kepada siapa yang dikehendaki- Nya, dan memberikan rizki kepada yang dikehendaki- Nya. Adapun aku, hanya mengharap semoga ketika aku bertemu dengan Allah, tidak ada seorangpun dari kalian yang meminta tanggung-jawabku atas kezaliman dalam masalah harta dan darah akibat perbuatan di dunia, seperti menetapkan harga ini”. (Al hadits).

Bukankah itu yang dimaksud dengan ’Invisible hand’ oleh Adam Smith dalam model pasar persaingan sempurnanya? Konsep invisible hand menyatakan bahwa “tindakan seorang individu yang didorong oleh kepentingan dirinya sendiri pada akhirnya akan menghasilkan solusi yang paling optimum untuk kepentingan bersama. Seakan-akan mereka dituntun oleh ”tangan tak terlihat”’ untuk mencapai efisiensi, suatu kondisi yang menjamin kesejahteraan masyarakat secara umum tercapai maksimal”. Konsep ini menjadi fondasi yang membangun sistem ekonomi pasar yang menjadi landasan ekonomi di hampir semua negara termasuk Indonesia . Jargon terpenting ekonomi pasar yaitu efisiensi misalnya, bahkan sudah tertera eksplisit dalam konstitusi kita (UUD ‘45, Amendemen ke-4, ayat 4).

Jika dia jujur, sesungguhnya Allah-lah tangan yang tidak terlihat itu. Bahkan jauh sebelum Adam Smith, Ibnu Taimiyah dalam karyanya Al Hisbah fi al-Islam telah menyatakan bahwa besar kecilnya kenaikan harga bergantung kepada besarnya perubahan penawaran dan permintaan. Bila seluruh transaksi telah sesuai aturan, maka harga yang berlaku merupakan kehendak Allah SWT. Kemudian Ibnu taimiyah menambahkan bahwa harga yang terbentuk pada pasar persaingan sempurna adalah harga yang adil dan efisien. Karena itu, jika terjadi kolusi antara penjual dan pembeli atau orang yang berpura-pura sebagai pembeli seperti yang banyak terjadi oleh kelompok pedagang tertentu untuk mengelabui calon pembeli yang lain, dan penimbunan barang dengan maksud menaikkan harga barang tersebut, ataupun bentuk-bentuk kezaliman dan penipuan yang lain (tadlis) yang bertujuan menganggu mekanisme pembentukan harga, maka pemerintah berhak menegakkan keadilan untuk masyarakatnya.

Setelah memperhatikan contoh kecil ini, adakah kita masih mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah fotokopi dari ekonomi kapitalis yang sedang naik daun saat ini? Bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi kapitalis yang diberikan sentuhan-sentuhan Islam? Ataukah ekonomi kapitalis sesungguhnya adalah ekonomi Islam yang dihilangkan norma-norma ketuhanan dan kemanusiaannya? (dari berbagai sumber)

Template by:
Free Blog Templates